Minggu, 26 Mei 2013

Kelabuku


Aku berlari tanpa tujuan, berharap tidak ada satupun yang mengejarku. Air mata aku biarkan jatuh seenaknya. Tanpa terasa aku sudah berada di puncak bukit belakang sekolah. aku menghentikan langkahku dan duduk di bawah pohon akasia.Aku bersandar, mengatur nafasku dan mulai menerawang kehidupanku dulu.
Namaku Kyntha Oriona, tinggal bersama orangtua serta kakak-kakakku di suatu kota kecil yang maju. Ayahku dipindah tugaskan ke kota ini, kota yang tidak pernah mati, menurutku. Ayah membeli rumah tidak jauh dari alun-alun, agar dekat dengan kantor dan sekolah kakak-kakakku, jawabnya saat aku bertanya dulu.
 Alun-alun yang kecil namun indah itu tidak pernah sepi dengan orang-orang yang mencari hiburan sejenak unuk melepaskan kepenatan. Tidak jauh dari sana berjajar pedagang kaki lima yang selalu bersemangat menjajakan dagangannya.
Aku masih ingat saat kecil aku memaksa mama untuk menyekolahkan ku sama seperti kakak-kakakku, padahal saat itu aku masih berusia 3 tahun, belum cukup umur untuk masuk TK. Karena saat itu pikiran ku adalah mencari teman dan sahabat untuk dapat bermain bersamaku karena selama ini aku selalu kesepian saat kakak-kakakku sekolah. Tentu saja mama ku tidak mengizinkan, katanya aku harus giat belajar di rumah dulu sampai pintar lalu mama akan menyekolahkanku. Aku bersorak gembira. Dan hari-hari selanjutnya Mama dengan sabar mulai mengajariku bagaimana caranya menulis, membaca, dan sebagainya.
Usiaku sudah 5 tahun, Mama menepati janjinya untuk menyekolahkanku di TK Islam yang berada di gang sebelah. Tidak perlu waktu lama saat aku sudah menginjak bangku TK apa yang aku impikan menjadi nyata, menjadi siswa terpopuler, terpintar, dan mempunyai banyak teman yang selalu membelaku. Tetapi satu kelemahanku, aku tidak bisa membaca Iqra' dengan baik.
Beranjak SD, aku di terima dengan remeh oleh guru-guru serta wali murid hanya karena umurku masih 6 tahun. Mama tetap memaksa panitia untuk memasukkanku ke sekolah elite tersebut.Akhirnya aku harus mengikuti sebuah tes untuk dapat lolos. Dan benar saja, aku lolos. Orangtuaku bangga, guru-guru dan wali murid masih meremehkan. Selama aku menuntut ilmu disana bukan kebahagiaan yang sama seperti waktu TK, tapi kebalikannya.
Aku di masukkan di kelas D selama 6 tahun ke depan. Kelas baruku yang bisa dikatakan sebagai kelas untuk anak-anak kurang pintar. Kelas itu berada paling belakang tidak jauh dengan toilet. Kelasku tidak terlalu luas, dindingnya ditutupi lumut, dan mempuyai jendela besar seperti jendela pada bangunan Belanda.
Aku tidak mempunyai teman ataupun sahabat di kelas ini. Aku tahu, teman-teman satu kelasku ingin mengajakku untuk bermain tapi mereka takut akan mendapatkan hukuman dari guru dan orangtuanya. Saat pelajaran berlangsung pun orangtua mereka masih menungguinya di luar kelas sedangkan Mama pulang untuk menyiapkan makan siang untuk keluargaku dan menjemputku jika sudah waktunya pulang.
Waktu aku kelas 3, teman-teman sudah tidak lagi di tunggui oleh orangtuanya. Aku berpikir keadaanku akan kembali seperti dulu, tapi ternyata tidak. Aku semakin dijauhi oleh mereka. Pernah suatu hari saat aku berlari ke toilet, temanku menjegalku dan akupun terjatuh. Aku meringis kesakitan, lututku lecet terkena kerikil yang ada di tanah, seragamku menjadi lusuh. Dengan jelas aku mendengar temanku tertawa terbahak-bahak lalu meninggalkanku.
Pernah juga temanku yang duduk di belakangku memotong rambutku yang terurai saat pelajara keterampilan hanya karena aku tidak memberinya uang saku yang aku miliki. Guru keterampilan saat itu tambah menertawakan dan memuji sikap temanku.
Keadaan seperti itu sangat menekanku. Tidak pernah ada kata tidak untuk mem-Bully, baik guru maupun siswa dan aku hanya bisa diam dan menangis. Aku takut jika aku mengadu pada Mama, aku malah semakin di-Bully.
Sikap mereka yang seperti itu membuatku menjadi minder untuk bergaul dan sialnya itu berpengaruh terhadap nilaiku. Mama sangat marah karena aku tidak mendapat juara 1 lagi. Mama mengurungku di rumah, tidak ada mainan, boneka, televisi, ataupun komputer. Hanya belajar dan terus belajar yang aku lakukan selama liburan kenaikan agar nilaiku kembali seperti dulu. Aku hanya bisa menangis saat semuanya terlelap, aku tidak bisa menemukan jati diriku.
Penentuan kelulusan tiba, aku mendapatkan nilai akhir 29, 65. Nilai tertinggi di sekolahku. Semuanya bangga, tetapi aku tidak. Aku hanya tidak ingin mendapat hukuman dan melihat Mama marah. Aku berfikir, Kyntha yang sekarang adalah benalu bagi semua orang dan di tingkat yang lebih tinggi nanti aku akan menjadi seseorang yang berbeda, bukan lagi sebagai Kyntha.
Aku menghela nafas. Mereka yang telah merubah hidupku menjadi seperti ini. Mereka yang membuatku lupa akan jati diriku. Kalau aku boleh melakukannya, aku akan membencinya! Tapi aku sadar semua itu tidak mungkin terjadi.
Dalam ingatanku muncul sesosok wanita cantik yang tidak asing bagiku, Mega. Wanita yang menurutku adalah seorang malaikat tanpa sayap yang merubah hidupku dalam sekejap. Hembusan angin lembut memainkan rambutku yang terurai, membuat perasaanku lebih tenang. Saat-saat seperti ini membuatku terlempar kembali ke masa lalu.
Sore itu aku berhasil kabur dari jadwal lesku yang sangat padat. Aku duduk di bangku taman kota dengan di temani novel yang baru saja aku beli. Taman kota sore ini tampak ramai, aku baru ingat kalau sabtu malam dimana semua orang merayakannya dengan bahagia bersama orang-orang yang mereka sayangi. Perasaan itu datang lagi, kebencian, ketakutan, keirian menjadi satu. Aku mencoba untuk menenangkan diri.
Aku mulai membuka plastic pelindung novel lalu membacanya.. Tidak lama kemudian ada sepasang kekasih duduk di sampingku. Aku merasa risih, akhirnya aku mengambil earphone dan mendengarkan lagu sembari melanjutkan membaca novel.
Senja datang dan aku bergegas untuk pulang. Dari arah berlawanan aku melihat seorang wanita sedang berlari menunduk ke arahku. Aku tidak sempat untuk menghindarinya.
“Ah, maaf” katanya sembari mengusap air mata.
Aku hanya diam.
" Maaf mengganggu, namaku Mega." sapanya ramah.
 “Nama kamu siapa?”
Aku memandanngnya sebentar, “Kau bicara denganku?”
“Tentu. Disini hanya aku dan kamu, tidak mungkin aku bicara dengan rumput. Hahaha”, tawanya dipaksakan.
Aku mendengus kesal, lalu menjawabnya "Thatha"
"Wah sibuk ya? bisa dibantu?"
“Tidak terima kasih. Lari lihat-lihat dong, jadi nyusahin orang lain kan!”
“Maaf Tha, aku tidak sengaja. Aku lagi galau setelah mendengar pembicaraan Papa dengan dokter tadi.”
Aku tidak mendengarkannya. Semua orang yang aku temui sore ini hanya membuatku semakin membenci hidupku. Aku mendengar langkah kaki Mega mengejarku, aku benci hal ini karena yang aku tahu, jika aku memperlambat langkahku, aku akan di-Bully seperti dulu. Semakin lama aku semakin berlari, dan aku tidak mendengar langkah kakinya lagi.
Tiba-tiba alarm handphone-ku berdering menunjukkan hari sudah senja. Aku malas beranjak dari tempatku. Pasti dibawah sana aku bertemu dengan mereka yang membuatku semakin tertekan. Handphone kumatikan lalu aku masukkan ke tas ransel ungu dengan motif bintang favoritku. Aku merebahkan diri disana, melihat langit senja yang sangat ku kagumi. Aku pun kembali terlempar pada kenangan itu.
Sore itu aku di beri kebebasan oleh keluargaku untuk bermain di luar rumah. Aku langsung berjalan mengelilingi alun-alun dengan menggunakan earphone. Aku duduk di bawah pohon palem yang rindang. Laptop yang aku simpan di ransel aku keluarkan dan mulai mengutak-atiknya. Dari arah samping, aku melihat seorang wanita berjalan menghampiriku, Mega, wanita yang dulu aku tinggal di taman kota.
“Thatha ya?” sapanya.
“Hmm”
“Ganggu Tha?”
“Pergi gih kalau engga ada gunanya disini.”
“Aku keliling dulu aja deh Tha.” Katanya lembut dengan tersenyum.
"Ide yang bagus. Kalau begitu silahkan berkeliling alun-alun ini dan jangan ganggu aku!"
"Baiklah. Tapi setelah kau selesai boleh aku menjadi temanmu?" tanyanya memaksa. Aku hanya diam dan mulai sibuk dengan laptopku lagi.
Aku melihat sekelilingku, wanita itu sudah berada di air mancur. Menjulurkan tangannya dan membiarkan air bermain dengan tangannya. Dia tertawa lepas, terlihat amat bahagia. Mataku panas, timbul rasa iri dalam benakku. Cepat-cepat aku mematikan laptopku dan memasukkannya ke tas ransel favoritku. Tiba-tiba Mega datang dengan senyum sumringah dan duduk di sampingku..
"Hai, sudah selesai? Aku ingin bermain denganmu. Sebentar saja."
"Aku sibuk.”
“Aku mohon, setelah ini aku tidak akan mengganggumu lagi.”
“Aku hanya punya waktu hingga maghrib"
"Terima kasih Thatha! Waktunya lebih dari cukup buatku."
"Jadi kita akan main apa?"
"Hahaha, aku hanya ingin bermain dalam imajinasi kita Tha."
"Maksudmu?"
"Banyak yang bilang aku perfect. Mereka hanya meihatku dari luar bukan dari dalamnya. Aku terlihat selalu bahagia, padahal aku tersiksa. Tapi itu bukan masalah besar bagiku. Berpura-pura untuk orang yang kita sayang agar bahagia itu menyenangkan! Walaupun banyak pahitnya sih. Aku tidak punya teman untuk bertukar pikiran, karena mereka yang kenal denganku mengira aku tidak pernah punya masalah dan aku selalu menjaga perasaan mereka. Aku hanya bercerita pada bintang, dengan begitu aku merasa sedikit lega. Tha, sebentar lagi aku akan benar-benar bahagia tanpa rasa sakit sedikitpun. Semua itu adalah balasan atas segala kesabaranku demi kebahagiaan mereka. Aku sakit leukimia Tha. Aku hanya mempunya Ayah yang membanting tulang untukku selama menuntut ilmu. Aku tidak ingin membebani pikirannya lagi, aku tidak pernah bercerita tentang sakitku kepadanya. Setiap hari aku bekerja serabutan, untuk memenuhi pengobatanku, tapi ternyata Tuhan sudah siap memberikan balasan atas sikapku selama ini.Aku bahagia dengan penyakit ini, karena aku bisa bertemu denganmu Tha. Sebelum ini aku selalu mimpi sosok wanita cantik di bangku taman ini yang akan membantuku untuk lebih mudah bereikarnasi menjadi bintang."
Aku hanya diam, mencoba mencerna apa yang dia katakan.Baru kali ini aku bertemu dengan orang yang sangat aneh, terlebih dia adalah wanita cantik seperti Emma Watson.
"Tapi yang lebih baik adalah menjadi diri sendiri dan membahagiakan orang-orang di sekitar kita. Kebahagiaan tidak harus di rasakan saat itu juga kan? Masih ada kebahagiaan yang lebih dan abadi suatu hari nanti. Nanti waktu kita reinkarnasi, kita jadi bintang yang sangat terang. Waktunya hampir habis nih, aku pulang dulu ya Kyntha.”, Emma Watson jadi-jadian itu melambaikan tangannya, lalu berlari kecil menjauh dariku.
Aku kembali ke dunia nyataku. Kenangan itu begitu indah. Hanya dia yang bisa membuatku tersadar dari topeng yang selalu menempel di tubuhku selama ini. Kini aku akan berubah kembali, menjadi seorang Kyntha Oriona bukan sebagai Thatha. Aku menatap langit, tanpa sadar sebulir air jatuh di pipiku. Aku yakin disana Mega sedang tersenyum bahagia.

Senja sudah berada di peraduanya. Aku menuruni bukit dengan langkah tegap membawa kekuatan yang kuat untuk menjadi diriku sendiri lagi. Senyum lebar menghiasi wajahku malam itu. Aku rindu dengan kebahagiaan keluargaku seperti dulu. Aku ingin merasakan bahagia yang sebenarnya, tanpa topeng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar