Jumat, 10 Mei 2013

Setetes Kenangan

Icha memperbaiki letak kacamatanya yang melorot dari pangkal hidungnya. Tangannya mulai kembali lagi menari dalam tuts keyboard di depannya. Sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari memelototi layar laptop tapa kenal waktu. Seperti saat ini, sembari menunggu kakaknya datang  menjemputnya di taman, dia asyik dengan laptop kesayangannya itu.Waktu telah menunjukkan bahwa ia telah berada disana hampir satu jam dan kakaknya juga tak kunjung datang.
"Menyebalkan. Selalu seperti ini kalau harus di jemput, argh!" Icha memasukkan laptopnya ke dalam tas dan mulai beranjak dari bangku untuk mencari taksi, ketika...
"Icha?"
suara seorang laki-laki yang menyapa ragu, membuat Icha batal melangkah. Cepat, Icha memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang menyapanya. Tubuhnya membeku seketika, mendapatkan sosok tinggi dan kurus berdiri di depannya. Matanya terbelalak, tak percaya, dan mulutnya menganga.
"Rifqi?" Icha memanggil nama yang sudah lama tidak ia ucapkan, untuk meyakinkannya.
"Ah, ternyaata kau masih mengingatku. " jawabnya senang.
"Tentu. Aku tidak sejahat itu dengan mudah melupakanmu Ki"
"Sedang mencari inspirasi untuk cerpenmu?"
"Ah ya, tepat sekali. Dan kau? Mmh, biar ku tebak. Sedang mencari inspirasi untuk lagu barumu?"
"Hahaha, ya benar. Dengan siapa kau kemari? Sudah sesore ini, apa tidak pulang saja?" Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Tidak, itu hanya pertanyaan basi sore hari, bukan sikap perhatiannya. Aku berusaha menguasai diri agar tidak terlihat gugup di depannya.
"Sendiri. Katanya kakak yang menjemputku pukul 4 tetapi kenyataannya hingga sekarang aku tidak menemukan batang hidungnya. Menyebalkan bukan?"
"boleh aku mengantarmu?" kataya dengan senyum menyeringai. Sial, kenapa aku harus terjebak dengannya saat senja seperti ini.
"Terimakasih, tapi aku akan menunggu kakakku."
"Terlalu lama, ayo ikut!" tangannya menarik lenganku. Walaupun hanya di batasi dengan kain bajuku, tetapi aku merasakan getaran dari tangannya. Ah, kenapa dia? Atau mungkin ini hanya perasaanku? aku hanya menurut sambil tersenyum kecil saat melihat rambutnya dipermainkan oleh angin.
"Rifqi! Jangan cepat-cepat, aku lelah." teriakku tiba-tiba.
"Hey, apa kau pernah merasakan de javu? Aku sedang merasakannya sekarang" sambungku.
Dia berhenti berlari, berbalik ke arahku dan menyipitkan matanya yag besar itu. Aku segera membuang pandang, aku tidak suka melihat ekspresi wajahnya seperti itu. Itu hanya membuatku teringat kenangan dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar