Kamis, 02 Mei 2013

Happy Bithday Party?

"ehh diem... dieem.. sembunyi sembunyii..
Raicha, Raicha, sini kamu yang bawa tartnya. Jaga lilinnya biar gak mati!
Semuanya sudah siap? Aku panggilin Faris ya? Oke?"

Temanku Sukorini yang sedang akting kerja kelompok di rumahnya Faris masuk ke dalam dan memanggil Faris. Dari tempat persembunyian kami, aku dapat mendengar Sukorini sedang memaksa Faris untuk keluar rumah.
"Riis, sini deh keluar bentar."
"Ngapain? Gak deh."
"Ayoo wes, aku mau tanya bentar." kata Sukorini sambil mendorong Faris keluar.
Dan akhirnya ......
Blarr~
Happy Birtday Pakdhe..
Happy Birthday Pakdhe..
Happy Birthday... Happy Birthday..
Happy Birthday Pakdhe Faris..
Tepung dan air berterbangan di udara, tawa canda menggema di teras rumah Faris. Akhirnya, aku dapat melihat senyumnya lagi. Senyum yang sudah lama tidak pernah aku lihat sedekat ini sebelumnya. Tiba-tiba temanku, Sania, menghampiriku.
"Eh Cha nih masih ada tepung. Belum ngelempar kan?"
"Enggak deh San, makasih. Aku jaga kue aja. Hehehe."
"Heyy Riis Fariis, ayoo sinii. Rara siap foto yaa?" Sania memberikan aba-aba kepada teman-temanku yang sedang asik berlarian agar tidak terkena lemparan tepung.
Faris berhenti berlari, retina kami saling bertemu, tanpa inginku tiba-tiba aku menunduk, menghindari tatapa matanya. Sial, kenapa harus seperti ini? Aku tidak menginginkan perasaan yang sangat agung ini muncul pada situasi seperti ini. Aku melihat ke arah depan, tanpa aku sadari ternyata Faris sudah berdiri di depanku.

Tiup lilinnya.. Tiup lilinnya..
Tiup lilinnya sekarang juga..
Sekarang juga..
Sekarang juga...

Dengan penasaran aku melihat wajahnya, dan lagi, retina kami bertemu lagi. Dia tersenyum kepadaku. Jantungku berdegup sangat kencang sudah tidak bisa ku kendalikan. Dadaku sesak, ingin rasanya berhambur ke daam pelukannya dan menangis sepuasnya, tapi aku tetap bertahan. Aku membalas senyumnya.
"Siap? Make a wish dulu." kataku gugup.
"Siip", jawabnya lalu menutup mata, memanjatkan doa.
Aku melihat raut mukanya. Ah, laki-laki ini yang sudah mengambil perhatianku sejak pertama kali kita bertemu. Hingga aku tidak bisa melepaskan sedikitpun pikiranku dari laki-laki ini. Aku ikut memanjatkan doa untuknya, berharap agar dia menjadi lebih baik lagi bagi Allah, keluarga, sahabat, dan temannya tidak pula juga menjadi yang terbaik untukku.
"Tiup sekarang ya?"
"Oh, oke. silahkan. Satu tiupan untuk pengabulan doamu."
Fuuh...

Hembusan angin yang keluar dari mulutnya mengenai wajahku saat dia meniup lilin yang memang, kita pasang sebanyak jumlah umurnya. Bau mint, seperti dulu.Sorak sorai suara teman-teman membuat kami salah 
tingkah. Faris langsung berlari menyiram teman laki-laki yang berada di belakangnya.

Aku tertawa melihat tingkah mereka, sangat lucu. Hembusan angin mempermainkan kerudungku membuatku terdiam.
"Faris maaf aku tidak bisa menghapus rasa ini, aku masih mencintaimu." kataku lirih.
"Hey Cha, kamu kenapa? Bahagia ya bisa deket lagi sama Pakdhe Faris? Ciee" suara Novita mengagetkanku.
"Iih apaan sih Vi, biasa aja lagi, kan cuma temen. hehe"
"Sabar ya Cha, kalau memang jodohmu. Pakdhe bakalan balik lagi kok ke kamu. Mungkin bukan saat ini, hehe."
Aku hanya tersenyum menjawab perkataan Novita.

Setelah acara kejar-kejaran dan lempar tepung yang membuat halaman rumah Faris sangat kotor, kami di persilahkan masuk untuk makan siang. Aku dan teman-teman perempuan membantu menata makanan di atas karpet. Disana sudah ada teman-teman yang lain duduk melingkar, termasuk Faris. Aku berusaha untuk menghindari tatapannya, selalu seperti itu. Acara bersama segera di mulai, dengan berebut mereka mengambil tempat duduk dan sialnya aku mendapat tempat di samping Faris.

Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, kami pamit pulang kepada orangtua Faris. Sesampainya di teras, aku tidak menemukan sepatuku sedangkan yang lain sudah pulang terlebih dahulu. Cukup lama aku di bantu Faris mencari, ternyata salah satu temanku menyembunyikannya di ranting pohon mangga yang tinggi. Ah untung saja aku tidak jadi menangis kalau saja sepatu ini masih lama ditemukan.

Dengan segera aku memakainya, lalu mengucapkan terimakasih kepadanya. Beberapa langkah saat menuju pintu pagar tanpa di duga tiba-tiba hujan turun cukup deras. Aku berlari masuk ke teras rumahnya. Faris menyuruhku masuk tetapi aku menolak. Akhirnya kami menunggu hujan reda di bangku terasnya. Suasana terasa canggung, lidahku kelu, dan lebih sialnya aku mulai menggigil kedinginan.

"Kau tahu, aku sangat suka saat dimana aku dapat melihat air turun dengan cepat tanpa aturan di bumi." kataku tiba-tiba.
"Sampai menggigil seperti ini?" katanya tanpa sedikitpun melihat ke arahku.
"Ya. Karena semua beban yang ada di pundakku sejenak terasa hilang saat melihatnya. Dimataku air itu adalah bebanku, lalu mereka mendarat di bumi sama seperti membuang semua beban yang tersimpan di balik tetes air hujan. Tetapi air itu kemudian menjadi genangan kecil dan butuh kehangatan untuk dapat hilang, sama seperti rasa yang aku simpan selama ini."
"Aku pernah dengar, kalau bagi kaummu menangis dapat menghilangkan sebagian beban yang kalian rasakan, tetapi kalian munafik, itu pikirku. Kalau memang mau menangis, menangis saja tidak perlu menahan agar tetap tersenyum, bukankah itu malah membuat beban kalian semakin terasa berat?"
"Ah ya kau benar"
"Kalau begitu ayo ikut aku!"

Faris menarik tanganku sambil berlari. Aku yang masih belum siap hampir terjerembab, berusaha menyeimbangkan lariku dengannya. Kami menikmati tetes demi tetes air hujan yang membasahi kami. Kami tertawa, berkejaran, saling terjatuh, dan aku menangis di balik hujan. Aneh, bebanku seperti menguap dan tidak kembali, jauh lebih lega daripada hanya memandangi hujan seperti biasanya. Aku berhenti di tengah hujan bersamanya masih dengan bergandeng tangan.

"Cha, maafkan aku. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi. Rasa kita sangat agung, aku tidak ingin mengotorinya. Kau tidak masalah kan jika kita hanya menjadi sahabat? Aku tetap akan menjagamu seperti bintang yang tidak pernah tidur.

"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar